Puisi-Puisi Semasa Remaja (agak lebay)
Oleh : Ali Suyanto Herli
S E P I
sepi adalah dinding-dinding kosong
di sepanjang koridor rumah sakit
semuanya putih, kosong, melompong
langkah sepatu juga datar, sama, sunyi
besok, luas, sehabis lusa dipeluk hening
Maret 1984, Yogyakarta.
(Majalah HAI no 28/IX tanggal 23 - 29 Juni 1985)
PADA KAPEL KECIL SEBUAH RUMAH SAKIT
gambar Yesus di atas altar menatap nanar
lengang dan sepi membalut doa pagi pahit ini
- sementara tim dokter tengah berjuang keras
untuk anak tunggalnya di atas meja bedah -
lampu, lilin, menari-nari tertiup angin dingin
pucuk-pucuk cemara mengintip kekalutan di gemetarnya
doa mengalir deras berpacu dengan waktu kelam
- sementara tim dokter telah selesai
di depan mereka tinggal seonggok daging -
keheningan siang dipecahkan langkah kaki dari belakang
mendekat, tangannya pelan menepuk bahu; ditatapnya,
mata dokter itu sudah mengungkapkan segalanya
dia keluar lunglai, meninggalkan dokter dan kapel
(di jalan turun hujan, ia menengadah heran
"Tuhan, mengapa Kau menangis?")
21 November 1985, Yogyakarta
(Majalah HAI no 20/XII tanggal 13 - 23 Mei 1988)
KUNANG-KUNANG YOGYAKARTA
(Yogyakarta lusuh dan tergelai loyo
kunang-kunang menghamburkan diri ke malam)
mereka mempunyai panutan kupu-kupu malam
di setiap malam, mereka harus bergulat di ranjang alam
melawan nafsu dan birahi liar
(Yogyakarta robek dan ambruk pingsan kesakitan
kunang-kunang tertidur lelah dalam malam larut)
Yogyakarta sepi, mati dan basah
dingin dan lengang
12 September 1985, Yogyakarta
(Majalah HAI no 14/XI tanggal 7 - 13 April 1987)
KALIURANG DALAM SEBUAH EPISODE
pucuk-pucuk cemara masih menunggu
bekas tapak kaki kiita menangis parau
di pucuk pelawangan :
- seakan ada yang memanggil-manggil -
kuturuni jalan setapak,
tapi hujan menghadangku disana
di kedinginan kabut kuterpaku :
- mendengar balada ranting-ranting pinus -
12 Desember 1985, Yogyakarta
(Majalah HAI no 24/XII tanggal 14 - 20 Juni 1988)
GERIMIS YANG BERPACU DENGAN SENJA
hari brengsek!
ini gerimis tak mau reda-reda juga
langit seperti mau cabik nyawaku
sendiri memelas dari kamar kost kosong
(jantungku tak bisa tenang dari kemarin)
aku takluk lagi
pada kesendirian
pada perpisahan
- aku takut sekali di sini -
karenanya,
esok pagi-pagi buta aku mau pulang lagi
senja ini aku beres-beres secepatnya
menyiapkan baju-celana ke kopor tua
gerimis membuatku tak bisa keluar makan malam
perut lapar menambah sesak napas, dingin menusuk
pikiran sudah melayang ke rumah
kemana mata memandang, di situ ada kerinduan
: ku ingin lari pulang menenteng kopor
menembus gerimis dan senja ini juga
Semarang, 3 Agustus 1988
(Majalah HAI no, 34/XIII tanggal 22 - 28 Agustus 1989)
OMBAK PEMACU MALAM PARANGTRITIS
wanita tua menyewakan tikar dan senter
mengitari bibir pantai kelam
langkah bungkuknya ditelah gemuruh ombak
di tengah malam ada pasangan mengikik
satu-dua turis asing membelah pantai
busa ombak mengepul-ngepul kecil
seperti busa bir
- malam pun mabuk -
bakul mkakanan dan wedang ronde hanya terpaku
ketika tamu semalaman berangkat tidur
lampu-lampu rumah padam
pantai dingin, sepi dan asin
( malam beranjak tua,
ketika ombak meledak di kejauhan)
dan parang tritis bergulat antara malam dan fajar
monumen, taman, burung malam jadi beku
lampu-lampu neon meredup kesepian
deretan gubuk di pinggir pantai menenangkan napas
: parang tritis mati
Semarang, 7 Agustus 1988
(Majalah HAI no 34 / XIII tanggal 22 - 28 Agustus 1989)
SUATU MALAM DI STASIUN KERETA API KOTA KECIL
: 'ku tak mau lagi ada di sini ...
setiap memandang lampu stasiun
di sana ada, entah berapa tepatnya, jutaan laron
bila ada kereta yang masuk
kerumunan itu terterjang
sebagian jatuh tergilas di atas rel
saat kereta pergi lagi
ribuan laron datang mengerumuni lampu-lampu
yang datang dari sawah di sekitarnya
stasiun kereta api kota kecil,
beberapa penumpang terlelap di kursi peron
menunggu kereta yang akan lewat
suasana menjadi mati; keji sekali!
tanda-tanda kehidupan hanya pada petugas
yang membaca koran di ruangannya
(tidak tega mengusik keseriusannya)
jarum jam seakan-akan berhenti
stasiun mendadak jadi penjara kecil
apalagi laron-laron menjijikan sekali
yang selalu mengerumuni tempat-tempat terang
padahal kegelapan adalah menakutkanku
- kuingin berteriak marah
meminta kereta lekas-lekas tiba -
Semarang, 9 Desember 1988
(Majalah HAI no 12 /XIII tanggal 21 - 27 Maret 1989)
GENDING TAYUB DARI HUTAN JATI
malam belum lagi sempurna
pohon-pohon jati masih basah
di pusat keramaian dukuh ada pesta selamatan
penari-penari tayub turun memanaskan malam
( gelegak minuman keras murahan membahana,
kepala dukuh larut dalam busa minuman )
seorang ayah gelisah sendirian,
pondoknya di pinggir hutan jati
putrinya penari tayub di pesta dukuh
- awas kau?
awas kalian! -
tapi pendar-pendar petromaks tambah luas
bulan bulat diikat di atas pesta
goyangan penari tayub tambah gerah
puncaknya, tarian pindah ke kamar yang disediakan
: malam pun sempurna
ketika pesta selamatan reda
pengunjung pulang malam
penari tayub pulang lelah
tanah lempung hutan jati belum lagi kering
sepasang mata tua menatap awas dari balik perdu
cahaya bulan memantul-mantulkan kelewang panjang
darahnya sudah di atas ubun-ubun
- awas kau!
awas kalian! -
dalam beberapa hentakan,
darah segar mengotori langit malam
hutan jati saksi robohnya penari tayub
langkah kaki telanjang tercetak di bayangan bulan
arahnya menuju rumah kepala dukuh
kelewang bercampur darah beku dan air gerimis,
kemudian satu erangan lembut kepala dukuh
: bulan masih terikat di atas desa
malam gerganti dini
tiga sosok gentayangan di atas pohon-pohon jati
yang ketiga dengan kelewangnya sendiri
burung-burung hutan menatap mereka
( kedasih menyenandungkan gending 'kesripahan',
pokok-pokok jati menggugurkan tunas-tunasnya)
Teluk Betung, 28 Agustus 1989
(Majalah HAI no 43/XIII tanggal 24 - 30 Oktober 1989)
BULAN DI ATAS KOTA
dari kaca sepur membelah malam
bulan digantung dari rumah penduduk
ia hamil tua
pucat dan terseok-seok
bagai janda pelacur tidak laku
diketuknya rumah-rumah kota
tapi ia tersangkut perdu
tenggelam dalam lumpur rawa
dari kaca sepur membelah fajar
matahari baru pulang
mabuk dan merah mukanya
sebentar lagi bakal meledak
keluarga kosong
adalah rumah kosong
bulan binasa dengan jabang bayi
matinya sekarat
bulan di atas kota
adalah potret kesepian yang tersia-sia
Teluk Betung, 2 Juli 1988
(Majalah HAI no 37/XIII tanggal 12 - 18 September 1989)
DI MATAMU KUMENDARAT BERSAMA SEPI
mata indahku,
mengapa takut pada kesendirian?
manusia lahir sendiri
mati pun sendiri
- kehidupan terlalu absurd -
mata indahku,
hidup ini sudah ada skenario
kadang kita butuh kesendirian
untuk istirahat dari panggung
- setiap aktor punya adegan sendiri -
''ku dapat berkaca di bening bola matamu
ada sepi menari-nari lembut
sepi yang penuh kegembiraan
sepi yang sangat dinikmati
- toh, puncak segala keramaian adalah sepi -
aku ingat tembang seorang pesinden
"api lilin yang padam, kemana nyalanya..."
semuanya tak punya arti
kadang nasib terasa brengsek
maka selagi masih hidup
kucoba mendarat di hamparan bola matamu
bersama sepi
(bersama kebahagiaan)
Teluk Betung, 29 Juli 1988
(Majalah HAI no 43 / XIII tanggal 24 - 30 Oktober 1989)
PENGHUNI KAMAR SEKIAN DI FLAT TERTINGGI DI DUNIA
kesepian yang membeku membalut kamar ini sejak dahulu
merasa ketinggian menjadikannya berada di dalam terali-terali besi
udara pengap berhewnti bergerak, tetapi tetap dingin lembab
aliran listrik dan gas sudah lama dimatikan dari pusat
sebuah lilin kecil menerangi seraut wajah tua yang sedang
berdoa khusuk sekali, terdengar lirih :
"Tuhan, masih jauhkah rumah-Mu dari kamar kosongku ini?"
terus dilakukannya ini hingga lilin mati
gelap pekat
(aminnya tertinggal di lelehan terakhir lilin yang
dengan cepat tumpah ke lantai berdebu)
29 Agustus 1985
(Majalah HAI no 11/XI tanggal 17 - 23 Maret 1987)
SEBUAH MARS TUA DARI GRAMAPHONE ANTIK
terseok-seok merobek gendang telinga tua
pendengarnya masih tenggelam dalam derap militer
ingat waktu masih muda, saat bergerilya
ketika ia dikejar-kejar kumpeni, dituduh subversif
ketika disaksikan rumahnya dibakar habis
ketika dengan matanya sendiri, keluarganya dibantai
ketika kedua kakinya hancur terkena ranjau,
terdengar sayup mars dari puing-puing bangkai rumah
(ketika irama melonjak-lonjak, ia sudah terlelap)
- begitu terus -
31 Agustus 1985
(Majalah HAI no 12/XI tanggal 24 -30 Maret 1987)
PADA BATU CADAS RAKSASA
onggokan tanganmu masih tersisa di sini
berkumpul bersama angin yang berdesir
- kapan kau pulang? - tanyamu sendu
beberapa tahun berselang di tempat yang sama
ombak laut menelan tempat kita berpijak
semuanya hilang jauh
22 Juli 1985
(Majalah HAI no 13 / XI tanggal 31 Maret - 5 April 1987)
PESTA LAUT, RUMAHKU
laut lepas memancar
buih bebas memendar
maju, majulah
ini samodra kita
tempat kita hidup
tempat kita tiada
apa yang ditakutkan?
sejuta lampu kapal di horison
sedang pesta gembira tiada akhir
sayang tak ada primadona cantik
kalau tidak, ia bakal ratu pesta
angin pantai malam melindungi
dari alun yang menepuk pipi sampan
laut ini rumah kita
jika menoleh ke belakang
hjalaman kita adalah barisan lambaian nyiur
diterangi lampu-lampu kota
bebas, bebaslah kita
Teluk Betung, 9 Juli 1988
(Majalah HAI no 45/XIII, tanggal 7 - 13 November 1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar