banyak hal-hal kecil yang kadang terlewatkan saat kita sedang termenung; ternyata semua itu dapat menjadi sesuatu yang menarik saat disajikan dengan cara yang tepat ALI SUYANTO HERLI (Blog's owner)
Jumat, 13 September 2013
Percikan Permenungan :
BANGGA
Oleh : Ali Suyanto Herli
Setiap orang mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam mengartikan suatu rasa bangga. Ada yang merasa bangga jika
karirnya melesat tinggi. Ada yang merasa bangga jika hartanya bertambah banyak.
Ada yang bangga saat mendapatkan pasangan hidup yang pandai, tampan dan kaya
raya. Ada lagi yang bangga saat anaknya menjadi juara suatu perlombaan. Dan ada
banyak sebab lain yang dapat membuat setiap orang merasa bangga.
Rasa
bangga adalah alami sifatnya, dapat muncul tanpa disadari. Dapat terjadi di
segala tempat dan berbagai macam peristiwa. Para motivator seringkali
menekankan perlunya kita mempunyai semangat hidup yang tinggi agar dapat
mencapai suatu hasil atau tujuan yang dapat dibanggakan kelak. Dalam ilmu
psikologi, rasa bangga itu dianggap sebagai suatu energi yang positif.
Bangga
adalah kata sifat. Menurut kamus besar Indonesia, bangga adalah besar hati atau
merasa gagah karena mempunyai keunggulan.
Orang
yang tidak mempunyai rasa bangga umumnya akan merasa rendah diri, dan hal ini
adalah suatu energi yang negative. Karyawan yang tidak mempunyai kebanggan
bekerja pada suatu perusahaan tidak akan memberikan hasil kerja yang optimal.
Pemilik usaha yang tidak mempunyai kebanggaan pada nilai-nilai usaha dan budaya
perusahaannya, maka usaha itu hanya akan menjadi bonsai di tanah gersang yang
tidak subur.
Pejabat
yang tidak mempunyai kebanggaan pada integritas dan kompetensi jabatan yang
diembannya, wakil-wakil rakyat yang tidak bangga pada semangat mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat, pemimpin
bangsa yang tidak mempunyai kebanggaan pada kebesaran negerinya, dan aparat
hukum yang tidak mempunyai kebanggaan pada upaya penegakan hukum, maka hanya
akan menghasilkan kondisi pemerintahan yang ‘asal jalan’ saja.
Singkatnya
rasa bangga itu harus dan positif.
Bangga Semu
Namun, disamping rasa bangga yang
memang wajar seperti contoh di atas tadi, ada pula rasa bangga yang disebabkan
oleh hal-hal yang kurang wajar. Hal-hal yang secara etika moral atau secara
aturan normatif dianggap salah, atau jahat, atau buruk, dapat dianggap sebagai
suatu hal yang membuat kita harus bangga.
Mengapa
dapat terjadi peristiwa ironis seperti itu? Mungkin karena pergeseran
nilai-nilai budaya di dalam masyarakat yang dapat terjadi setiap hari secara
akumulatif terus menerus, karena gempuran pengaruh budaya-budaya asing dari
luar yang tidak tersaring dengan baik, maka tanpa disadari semua keanehan itu
sudah menjadi suatu kebiasaan yang wajar dan layak. Ukuran moral yang bergeser.
Misal budaya kapitalisme dan materialisme yang tanpa disadari telah hadir di
sekitar kita. Orang lebih mengagungkan materi daripada lainnya.
Pada
tahun 1920an kebiasaan merokok belumlah dianggap sebagai hal yang tidak sehat,
namun kini sejalan dengan meningkatnya kesadaran manusia akan kesehatan, budaya
merokok cenderung dipandang sebagai kebiasaan yang tidak etis. Iklan-iklan
rokok mulai dibatasi di beberapa media, tempat merokok mulai dibatasi, dan
dengan peringatan resiko rokok di kemasannya.
Hal-hal
yang baik dari suatu budaya dapat kita ambil disesuaikan dengan adat istiadat
setempat, tetapi hal-hal yang tidak pantas dengan budaya kita seharusnya kita
tinggalkan saja.
Contoh
dari peristiwa ironis tersebut misalnya para terpidana kasus-kasus korupsi yang
saat diwawancara selalu tampil bahagia, tersenyum dan bangga dengan kondisinya.
Apalagi jika mereka dikawal sederet para pengacara hebat, maka rasa percaya
diri itu makin kuat terpancar dari raut wajahnya. Tidak tampak wajah sedih dan
menyesal. Kasus korupsi yang seharusnya memalukan di negeri-negeri lain (kadang
berakhir dengan bunuh diri), namun dapat menjadi suatu kebanggaan bagi beberapa
orang di negeri ini. Korupsi adalah merampok hak kesejahteraan dan hak
kepandaian rakyat banyak demi suatu ego yang rakus akan materi melalui
cara-cara tidak bermoral dan illegal.
Contoh
lain yang masih aktual adalah seorang selebriti yang saat diwawancara dalam
suatu acara infotainment televisi tampil dengan bahasa yang sok pandai mencomot kata-kata canggih sana-sini dan
asing di dalam kalimatnya. Ini adalah orang yang bangga dengan ketidak-tahuannya. Orang yang
ingin tampil seolah-olah dianggap pandai.
Penggunaan
kata-kata aneh itu tidak tepat secara struktur maupun secara tata bahasa,
bahkan tidak ada konteks terhadap substansi kalimat secara keseluruhan, maka
akhirnya kalimat itu menjadi kalimat super aneh. Istilah-istilah aneh seperti
‘labil ekonomi’, ‘konspirasi kemakmuran’, ‘twenty
nine my age’ patut dipertanyakan apa maksudnya supaya tidak merusak
semangat menjunjung tinggi bahasa persatuan kita di Sumpah Pemuda.. Akhirnya
semua ini tentu menjadi bahan olok-olok di masyarakat luas. Tragis.
Satu
contoh lagi, banyak para orang tua yang bangga manakala anak-anaknya yang masih
di bawah usia dewasa telah mampu mengendarai kendaraan bermotor, baik roda dua
maupun roda empat. Ditambah fakta bahwa membeli sepeda motor dan mobil semakin
mudah saat ini, karena banyaknya lembaga pembiayaan yang siap membantu dengan
uang muka yang sangat rendah sekali.
Apalagi
bila ada yang memuji si anak, maka rasa bangga itu akan makin berlipat-lipat
bagai suatu pembenaran atas percobaan itu. Namun apa yang akan terjadi manakala
si anak yang belum memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi) nekat membawa kendaraan
roda empatnya di jalan raya lalu menyebabkan kecelakaan fatal yang menimbulkan
beberapa korban tewas? Penyesalan? Atau masih ada rasa bangga itu?
Perasaan
yang timbul kemudian adalah rasa empati bagi semua pihak. Kita prihatin dan
menyesali insiden kecelakaan itu. Kita berharap agar kecelakaan-kecelakaan
seperti ini tidak terjadi lagi di masa depan. Semoga bagi semua korban
kecelakaan itu dapat segera pulih, sehingga mereka dapat beraktivitas kembali
seperti sebelumnya. Semoga putra-putri kita dapat tumbuh dewasa secara sehat
jasmani dan rohani sampai kelak mereka menjadi pribadi-pribadi dewasa yang
kritis dan mempunyai karakter yang bermoral baik.
Uang
Uang memang dapat merubah watak
dan karakter orang. Ada orang yang saat miskin, hidupnya susah dan rendah hati,
namun saat tiba-tiba menjadi kaya raya hidupnya berubah 180 derajat. Ada.
Makanya sering kita dengar istilah borjuis yang mengacu kepada makna orang kaya
baru. Orang yang baru kaya umumnya kaget dan tidak siap dengan kejutan budaya.
Sering kita mendengar juga istilah Jawa ‘kere
munggah bale’ yang maknanya mirip dengan orang miskin yang tiba-tiba kaya.
Contoh
sederhana dapat dilihat di jalan raya. Banyak orang mampu membeli mobil
baru yang mahal, namun sedikit dari
mereka yang mampu tampil dengan beradab saat mengendarai kendaraannya di jalan
raya. Banyak dari mereka yang mengendarai mobilnya dengan sembrono, sehingga
seringkali terjadi musibah tabrakan yang memakan korban jiwa. Bunyi klakson pun
saling beradu di setiap kemacetan seolah hanya dengan suara klakson itu dapat
menyelesaikan persoalan macet. Klakson juga seolah representasi para ego snob yang saling berteriak adu keras.
Dalam
posisi hidup sangat sederhana dimana segala kemungkinan hidup serba terbatas,
kemungkinan untuk ‘aneh-aneh’ nyaris sangat tipis. Jarang terdengar orang miskin
pesta narkoba di hotel berbintang. Atau orang miskin membeli mobil mahal untuk
anaknya. Persoalannya memang bukan disini. Persoalan itu mulai muncul manakala
banyak orang menjadi lebih kaya dan bingung dengan pola hidup barunya.
Kalau
orang sederhana selalu bertanya, “Apakah saya makan hari ini?” Maka orang kaya
punya pilihan pertanyaan lebih banyak, “Makan apa saya hari ini?” Sudah ada
pilihan menu makanan. Atau, “Makan dimana saya hari ini?” Pilihannya mulai
melebar ke restoran. Dan bisa juga, “Makan siapa saya hari ini?” Si A? Si B?
Atau si C?
Karena
uang bukan lagi masalah bagi orang kaya, maka segala permintaan dari setiap
anggota keluarga dapat terpenuhi. Maka tidaklah heran sekarang banyak anak
kecil sudah membawa beberapa telepon genggam android sekaligus. Harga gadget
baru yang mencapai sekitar Rp 7,5 juta per unit itu identik dengan uang makan
beberapa bulan bagi sebuah keluarga sederhana.
Karena
uang juga bukan masalah, maka di sekolah-sekolah seperti SMP dan SMA di halaman
parkir kendaraannya penuh dengan motor dan mobil. Para siswa yang belum
memiliki SIM itu membawa sendiri kendaraan untuk pulang pergi. Siapa yang
membelikan kendaraan itu? Orang tuanya.
SIM (Surat Ijin Mengemudi)
Setiap orang yang akan
mengendarai kendaraan di jalan raya wajib memiliki SIM terlebih dahulu. Untuk
sepeda motor roda dua wajib memiliki SIM C. Untuk mobil wajib memiliki SIM A
atau B sesuai spesifikasi kendaraan yang akan digunakan nanti. Ketentuan SIM (driving license) ini berlaku di semua
negara di dunia. Bahkan ada SIM International untuk ijin mengemudi kendaraan di
negara lain.
Umumnya
setiap ada razia atau pemeriksaan kendaraan di jalan raya oleh polisi, maka
dokumen yang diminta untuk diperlihatkan adalah SIM dan STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan). Para aparat hukum seperti militer pun juga tidak luput dari
pemeriksaan kendaraan dinas secara berkala yang dilakukan oleh polisi militer.
Artinya, secara regulasi semuanya sudah diatur dengan baik.
SIM
berlaku untuk masa 5 (lima) tahun. Bila telah jatuh tempo, maka si pemohon
harus memperpanjang SIM tersebut melalui beberapa syarat yang telah ditentukan.
Seseorang yang telah lulus dan memiliki SIM dapat saja dicabut kembali atau
dibatalkan kartu SIM-nya jika terdapat atau terjadi hal-hal yang dianggap fatal,
misalnya terjadi suatu pelanggaran fatal sehingga timbul kecelakaan yang
mengakibatkan jatuhnya korban tewas. Pencabutan SIM si pelaku itu dengan
pertimbangan agar tidak membahayakan pengguna jalan raya lainnya.
Untuk
memiliki SIM seseorang harus melalui berbagai ujian tertulis dan ujian praktek
di kantor pengurusan SIM dimana domisili hukumnya berada. Untuk membuat SIM,
seseorang harus memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) terlebih dahulu. Makanya
seseorang harus sudah dianggap dewasa dahulu, siap secara fisik dan mental,
maka yang bersangkutan dapat mengikuti proses pemilikan SIM.
Namun
itu juga bukan berarti bahwa setiap orang yang telah dewasa atau memiliki KTP
secara otomatis berhak untuk memiliki SIM. Ada beberapa pertimbangan tertentu
yang dapat menyebabkan orang dewasa gagal memiliki SIM, misalnya faktor
kompetensi mengemudi yang tidak baik atau misal lain bahwa yang bersangkutan
memiliki cacat fisik yang mengakibatkan tidak mampu mengendarai sepeda motor
atau mobil secara benar dan aman.
Jika
memaksakan memberi SIM kepada orang dengan kualifikasi demikian, maka hanya
akan menimbulkan resiko lebih parah terhadap keselamatan orang lain.
Keselamatan kita di jalan raya bergantung kepada faktor internal yang timbul
dari kesiapan kondisi kendaraan kita dan kondisi kemampuan fisik kita sendiri,
dan faktor eksternal yang timbul dari pengguna jalan raya lain.
Untuk
tidak menabrak pengguna jalan raya lainnya adalah masih mudah. Jalan hati-hati
senantiasa awas melihat depan-belakang-kiri-kanan, tidak melebihi batas
kecepatan dan selalu siaga menginjak pedal rem. Tetapi untuk menghindari
ditabrak oleh pengemudi lain dalam kondisi jalan raya saat ini yang jauh lebih
padat dan kompleks dibandingkan beberapa puluh tahun silam adalah suatu hal
yang muskil. Kecelakaan adalah kecelakaan, tanpa memandang menabrak atau
ditabrak, jika telah terjadi akibat kerusakannya tetap sama. Pusing.
Moral
Sebagai orang tua di jaman ‘edan’
seperti sekarang ini memang tidak mudah. Jika orang tua sendiri tidak tahu dan
tidak sadar, bagaimana mungkin mereka dapat memberi tahu dan menyadarkan
anak-anaknya? Tentu tidak mungkin. Tuntutan hidup yang makin tinggi, beban
hidup yang makin berat, dan kondisi
budaya yang cepat berubah telah membuat tugas setiap orang tua jauh tambah
sulit. Kadang orang tua berpikir dengan hanya menyekolahkan atau memberi materi
uang kepada anak, maka tugas dan fungsi orang tua telah selesai. Padahal jauh
dari itu. Makanya pihak sekolah seringkali mengundang para orang tua murid
untuk bertemu dan berdiskusi dalam metode pembinaan siswa.
Namun,
jika kita sebagai orang tua tahu dan sadar akan nilai-nilai itu, maka wajib
hukumnya untuk mendidik anak-anak dengan nilai moral yang benar. Ajarkan anak
pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mengutamakan pada perbuatan baik
daripada mendewakan materialisme semata. Bukan semata pada aspek salah atau
benar saja, tetapi juga pada aspek baik atau buruk dan pantas atau tidak
pantas.
Ada
sebuah kata bijaksana yang mungkin bernilai buat kita semua. Do not educate your children to be rich.
Educate them to be happy. So when they grow up, they’ll know the value of
things, not the price. Jangan ajari anakmu jadi kaya. Didiklah mereka agar
bahagia. Jadi saat mereka dewasa nanti, mereka akan tahu nilai setiap hal, bukan harga
dari setiap hal.
Kebanggaan
itu adalah jika anak-anak belajar dengan sungguh-sungguh, lulus dengan nilai
baik lalu mandiri tidak bergantung pada orang lain atau pada pemerintah sekali
pun. Atau bahkan si manusia dewasa itu nanti mampu berkarya secara positif bagi
orang-orang di sekitarnya, atau bahkan bagi nusa bangsanya, dan bagi dunia ini.
Berilah
contoh figur sukses seperti Steve Jobs dan Bill Gates yang mampu merubah
paradigma dan cara kerja dunia terhadap penggunaan teknologi saat ini. Mereka
kaya raya, namun mereka juga sekaligus sosial dengan rutin memberi sumbangan
finansiil setiap tahunnya kepada para penduduk di dunia ketiga. Steve Jobs (almarhum) dan Bill Gates tidak
perlu mengendarai sendiri mobilnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang
hebat dan pandai. Mereka bahkan dapat memperkerjakan banyak supir sekaligus
untuk memenuhi kebutuhan seluruh kantornya di seluruh dunia. Mereka dengan
kekayaannya mampu untuk membeli mobil mewah merek apa pun juga, atau bahkan
mampu untuk membeli pabriknya sekaligus.
Atau
figur seperti Bunda Teresa yang jauh dari kesan kaya, namun aksi-aksi
kemanusiaannya di India terhadap para orang papa dan tersingkirkan selalu
dikenang oleh banyak orang di seluruh dunia. Bahkan untuk tingkatan seperti
Bunda Teresa, setiap kebaikan itu tidak perlu diiringi oleh rasa bangga. Setiap
orang harus berbuat kebaikan kepada sesamanya karena alasan humanisme universal, dan tidaklah perlu
kita lantas menjadi bangga (atau kemudian sombong) atas kebaikan kita tersebut.
Masyarakat
era kini memang lebih mengutamakan tampilan fisik serba luar yang ‘waahhh’ daripada apa yang terpancar dari
dalam diri secara tulus dan jujur. Masyarakat yang ingin serba instant pada hasil hebat, dan selalu
malas pada proses panjang. Mari kita (coba) merenungkan kembali makna hidup
ini, apa tujuan hidup kita.
Hidup
haruslah memberi makna (yang positif) bagi sesama kita. Hidup bukanlah ajang
mencari rasa bangga dari orang lain, apalagi rasa bangga yang keliru.
Terima
kasih.
Rabu, 11 September 2013
Percikan Permenungan : Jangan Ada ‘Mempertakut’ di Antara Kita Oleh : Al...
Percikan Permenungan : Jangan Ada ‘Mempertakut’ di Antara Kita Oleh : Al...: Jangan Ada ‘Mempertakut’ di Antara Kita Oleh : Ali Suyanto Herli Orang Pandai Di dunia ini, orang pa...
Jangan Ada ‘Mempertakut’ di Antara Kita
Oleh : Ali Suyanto Herli
Orang Pandai
Di dunia ini, orang pandai ada dua
jenis. Pertama, mereka yang jika berbicara atau menyampaikan pendapatnya
selalu menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat asing yang canggih
dan susah dimengerti. Secara tata bahasa kalimatnya mungkin benar,
konteksnya nyambung dengan substansi kalimat secara
keseluruhan, namun bagi orang awam akan kesulitan untuk memahami
kalimat-kalimat seperti itu. Jenis kedua orang pandai itu adalah mereka
yang selalu menggunakan kata-kata dan bahasa yang sederhana, namun tanpa
mengurangi makna dari substansi kalimatnya. Dan umumnya bahasa jenis
kedua ini lebih mudah dipahami oleh orang awam.
Mengapa bisa terjadi tipe pertama dan tipe kedua seperti itu?
Setiap orang bisa menjadi pakar di tiap
atau beberapa disiplin ilmu sekaligus dengan melalui proses belajar dan
kerja-keras. Misalnya, pakar di bidang kedokteran, atau pakar di bidang
hukum, atau bidang ekonomi, atau pun di bidang politik. Atau bidang lain
lagi. Namun kompetensi pada disiplin ilmu tersebut belum tentu
diimbangi dengan kemampuan berbahasa yang baik dan benar juga. Hanya
orang yang mempunyai cara berpikir yang logis, sederhana dan nalar lah
yang mampu menyusun bahasa secara runtut dan nyaman dicerna dengan akal
sehat.
Untuk menyampaikan suatu pendapat atas
suatu hal yang kompleks misalnya, sebenarnya diperlukan satu tahapan
lagi, yaitu mengemasnya dalam kalimat dan bahasa yang mudah dan enak
dicerna. Tetapi tidak semua orang sanggup melakukan tahapan ini. Umumnya
karena faktor kesibukan si pembicara, atau tidak ada kompetensi di
bidang linguistik, mereka mengabaikan tahapan ini.
Bung Karno sebagai salah satu contoh
bagaimana seorang yang pandai mampu menyampaikan isi pikirannya dengan
bahasa yang sangat mudah dipahami dan dengan gaya penyampaian yang tetap
menarik. Tidaklah heran jika Bung Karno berpidato (tanpa teks), maka
para pendengar atau penonton tanpa disadari telah ‘terbius’ berjam-jam
lamanya.
Namun sebaliknya, sering kali pula kita
saksikan di televisi para politikus yang menyampaikan pendapatnya secara
berputar-putar tidak jelas dan tidak tegas maknanya. Mengambang.
Sebenarnya maksud isi pikiran si politikus bagus, tapi karena tata
bahasanya kacau, maka kesan yang timbul jadi bias.
Semua itu adalah pembahasan mengenai orang pandai.
Orang Yang Berpura-pura Pandai
Lalu diluar pembahasan di atas, ada pula
tipe orang yang sebenarnya tidak pandai namun berusaha agar terlihat
oleh orang lain seolah-olah dia pandai (sekali). Bagaimana caranya? Ada
banyak hal yang dapat ditempuh agar seolah menjadi ‘intelektual’.
Menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat canggih dan asing di dalam
tata bahasa kalimat adalah salah satu contoh.
Namun karena pada dasarnya mereka tidak
memahami ilmu struktur dan tata bahasa yang baik dan benar, maka aksi
comot sana-comot sini istilah-istilah asing itu (ditambah tempelan
beberapa kata bahasa asing seperti bahasa Inggris misalnya, dan
celakanya ternyata juga masih salah secara struktur dan grammar) malah membuat kalimatnya menjadi aneh. Tumpukan kata-kata aneh itu tidak nyambung secara keseluruhan.
Contoh kalimat itu adalah pidato
kampanye seorang calon kepala desa sebagai berikut, “My name is ….. I am
from the birthday in Karang Asih City. I have to my mind. I have to my
said. I’m get to the good everything …… to my place. America, Europe and
everything japanese and Asia…” Atau contoh subyek yang sama namun dalam acara yang berbeda di televisi beberapa hari lalu, “Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.”
Lalu, “Kita belajar, apa ya, harmonisasi
dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego
terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan.
Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram
statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident.”
“Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga…”
Paham? Jangankan kita sebagai pendengarnya yang tidak paham akan maksud kalimat-kalimat mentereng
itu, si pembicara itu pun secara jujur juga bingung dengan makna
kalimatnya sendiri. Susunan subyek, predikat dan obyeknya saling tumpang
tindih tidak jelas. Ditambah lagi dengan bentukan kata benda, kata
ganti, kata kerja dan kata sifat yang saling berebutan ingin tampil
keluar di kalimat, maka kita seperti melihat suatu lukisan post-mo
abstrak yang indah dengan kata-kata asing namun miskin ide dan makna.
Suatu komunikasi yang tanpa makna tidak lebih daripada suatu igauan kosong.
Bahasa yang Baik dan Benar
Dalam suatu kalimat umumnya ada subyek,
predikat, dan obyek agar jelas maksud tujuan kalimatnya. Misalnya
kalimat berikut ini, ‘Saya memberi dia sebuah hadiah ulang tahun’. Saya sebagai subyek, memberi sebagai predikat, dia sebagai obyek, dan sebuah hadiah ulang tahun sebagai kata keterangan.
Secara struktur kata, kita mengenal kata
benda, kata kerja, kata keterangan, kata sifat, kata ganti, kata
bilangan dan kata tugas. Masing-masing jenis kata harus digunakan dalam
fungsi dan konteks yang tepat. Jika kacau balau susunannya, maka
maknanya pun akan kacau balau juga.
Tiap kata selalu berasal dari suatu kata
dasar. Kata dasar dapat berubah makna setelah mendapatkan tambahan
awalan, atau sisipan, atau akhiran (imbuhan). Misalnya, kata dasar
‘lari’ adalah kata kerja, namun setelah mendapat imbuhan ‘pe-an’
sehingga bentuknya menjadi ‘pelarian’, maka maknanya bergeser menjadi
kata benda, yaitu orang yang berlari. Penggunaan imbuhan yang kacau dan
aneh hanya akan membingungkan pihak yang diajak berbicara.
Misalnya di kata ‘mempertakut’ yang kata
dasarnya adalah ‘takut’ yang merupakan kata sifat. Jika kata sifat itu
mau diubah menjadi kata benda, maka bentuk barunya menjadi ‘menakutkan’,
namun jika yang dimaksud si pembicara adalah kata kerja maka seharusnya
menjadi ‘menakuti’ atau ‘menakutkan’. Awalan ‘memper-’ itu umumnya
mempunyai makna ‘membuat sesuatu agar lebih’. Kata ‘memperpanjang’
mempunyai makna membuat suatu masalah / hal menjadi lebih panjang lagi.
Apakah ‘mempertakut’ bermakna ‘membuat sesuatu agar menjadi lebih
menakutkan lagi’? Entah lah. Tetapi yang jelas bentuk kata
‘mempertakut’ adalah tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia.
Sama dengan tidak lazimnya kalimat ‘ twenty nine my age ‘.
Mengapa tidak menyampaikan ‘Usia saya dua puluh sembilan tahun’ saja?
Di dalam struktur bahasa Inggris juga tidak lazim kalimat itu, umumnya
cukup dengan frasa ‘twenty nine years old‘.
Keep It Simple, Stupid (KISS)
Ada suatu kata bijaksana untuk
menyampaikan opini yang tetap relevan hingga saat ini, yaitu ‘Keep It
Simple, Stupid!’ (KISS). Buatlah agar tetap sederhana! Bahasa yang
sederhana adalah bahasa yang menggunakan kata-kata sederhana, dan
umumnya kalimatnya juga singkat. Singkat, tetapi tetap bermakna. Tidak
panjang bertele-tele melelahkan. Cobalah lihat novel-novel karya
Arswendo Atmowiloto, misalnya novel ‘Dua Ibu’ atau novel ‘Canting’,
kalimat-kalimatnya selalu sederhana dan pendek. Mudah sekali diikuti dan
nikmat.
Menggunakan kata-kata bahasa asing di
dalam beropini dengan kalimat berbahasa Indonesia (untuk pemirsa di
Indonesia juga) sedapat mungkin dihindari. Kecuali padanan kata tersebut
memang belum ada di perbendaharaan (vocabulary) kata bahasa Indonesia, atau demi menghindari bergesernya makna (lost in translation, maknanya hilang karena proses penterjemahan) yang ingin disampaikan si subyek pembicara karena penggantian kata tersebut.
Menggunakan banyak kata bahasa asing
dalam suatu kalimat Indonesia hanya agar tampak seolah pandai, lebih
mencerminkan bahwa si pembicara tidak percaya diri. Masalah mental.
Kepandaian itu akan terpancar dengan sendirinya, diakui oleh orang lain
secara spontan, tanpa harus dipandu atau digiring ke kesan tersebut.
Kita akan dinilai oleh orang lain tidak
cuma dari apa yang terlihat dari luarnya saja, tetapi juga dari apa yang
muncul dari dalam diri kita. Dari apa yang telah kita ucapkan dan
lakukan secara jujur dari waktu ke waktu.
Lagi pula, apa untungnya kesan ‘pandai’ jika tidak memberikan arti atau bermanfaat bagi sesamanya? Dan tentu bagi bangsanya.
Panggung Olok-Olok
Media massa selalu punya kepentingan,
dan celakanya faktor uang tetap dominan disana. Media pers akan selalu
memberi panggung kepada orang-orang bodoh supaya terkenal, sambil
mengolok-olok mereka, agar laris rating acaranya. Itu artinya pemasukan
iklan lebih banyak. Uang lebih banyak.
Orang yang diolok-olok juga senang
karena akan makin terkenal. Itu bisa berarti uang juga jika mereka
dikontrak untuk menjadi bintang suatu iklan, atau misalnya kalimat
’saktinya’ dikontrak untuk dijual sebagai RBT (Ring Back Tone
atau nada sambung, adalah suara yang diperdengarkan di jalur telepon
oleh pihak penelepon setelah selesai melakukan pemanggilan dan sebelum
panggilan dijawab oleh pihak yang dihubungi) telepon genggam. Dan atau
lainnya lagi.
Setiap pihak tampaknya senang dengan hal
itu. Banyak yang terhibur, apalagi dalam kondisi kehidupan rakyat
banyak yang makin sulit dimana harga bahan pangan makin tinggi, harga
tempe dan tahu makin mahal, angka pengangguran tinggi, dan suramnya
berita-berita penegakan hukum di Indonesia, maka tertawa lepas adalah suatu barang mewah yang semakin sulit didapat di negeri ini (karena terlalu banyak hal-hal yang harus ditertawakan secara ironis).
Namun hiburan tetaplah sebagai hiburan.
Sebentar lagi kita akan merayakan hari Sumpah Pemuda, kita harus
menjunjung tinggi bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Kita harus
paham aturan mainnya dalam berbahasa yang benar dan baik. Nelson Mandela
pernah berkata ❝If you talk to a
man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to
him in his own language, that goes to his heart.❞
Jadi marilah kita (tetap) menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan gunakan lagi kata
‘mempertakut’ tidak pada tenpatnya. Jangan ada ‘mempertakut’ di antara
kita (karena tidak akan ada kudeta di konspirasi kemakmuran dan labil ekonomi).
Terima kasih.
Langganan:
Postingan (Atom)