BANGGA
Oleh : Ali Suyanto Herli
Setiap orang mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam mengartikan suatu rasa bangga. Ada yang merasa bangga jika
karirnya melesat tinggi. Ada yang merasa bangga jika hartanya bertambah banyak.
Ada yang bangga saat mendapatkan pasangan hidup yang pandai, tampan dan kaya
raya. Ada lagi yang bangga saat anaknya menjadi juara suatu perlombaan. Dan ada
banyak sebab lain yang dapat membuat setiap orang merasa bangga.
Rasa
bangga adalah alami sifatnya, dapat muncul tanpa disadari. Dapat terjadi di
segala tempat dan berbagai macam peristiwa. Para motivator seringkali
menekankan perlunya kita mempunyai semangat hidup yang tinggi agar dapat
mencapai suatu hasil atau tujuan yang dapat dibanggakan kelak. Dalam ilmu
psikologi, rasa bangga itu dianggap sebagai suatu energi yang positif.
Bangga
adalah kata sifat. Menurut kamus besar Indonesia, bangga adalah besar hati atau
merasa gagah karena mempunyai keunggulan.
Orang
yang tidak mempunyai rasa bangga umumnya akan merasa rendah diri, dan hal ini
adalah suatu energi yang negative. Karyawan yang tidak mempunyai kebanggan
bekerja pada suatu perusahaan tidak akan memberikan hasil kerja yang optimal.
Pemilik usaha yang tidak mempunyai kebanggaan pada nilai-nilai usaha dan budaya
perusahaannya, maka usaha itu hanya akan menjadi bonsai di tanah gersang yang
tidak subur.
Pejabat
yang tidak mempunyai kebanggaan pada integritas dan kompetensi jabatan yang
diembannya, wakil-wakil rakyat yang tidak bangga pada semangat mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat, pemimpin
bangsa yang tidak mempunyai kebanggaan pada kebesaran negerinya, dan aparat
hukum yang tidak mempunyai kebanggaan pada upaya penegakan hukum, maka hanya
akan menghasilkan kondisi pemerintahan yang ‘asal jalan’ saja.
Singkatnya
rasa bangga itu harus dan positif.
Bangga Semu
Namun, disamping rasa bangga yang
memang wajar seperti contoh di atas tadi, ada pula rasa bangga yang disebabkan
oleh hal-hal yang kurang wajar. Hal-hal yang secara etika moral atau secara
aturan normatif dianggap salah, atau jahat, atau buruk, dapat dianggap sebagai
suatu hal yang membuat kita harus bangga.
Mengapa
dapat terjadi peristiwa ironis seperti itu? Mungkin karena pergeseran
nilai-nilai budaya di dalam masyarakat yang dapat terjadi setiap hari secara
akumulatif terus menerus, karena gempuran pengaruh budaya-budaya asing dari
luar yang tidak tersaring dengan baik, maka tanpa disadari semua keanehan itu
sudah menjadi suatu kebiasaan yang wajar dan layak. Ukuran moral yang bergeser.
Misal budaya kapitalisme dan materialisme yang tanpa disadari telah hadir di
sekitar kita. Orang lebih mengagungkan materi daripada lainnya.
Pada
tahun 1920an kebiasaan merokok belumlah dianggap sebagai hal yang tidak sehat,
namun kini sejalan dengan meningkatnya kesadaran manusia akan kesehatan, budaya
merokok cenderung dipandang sebagai kebiasaan yang tidak etis. Iklan-iklan
rokok mulai dibatasi di beberapa media, tempat merokok mulai dibatasi, dan
dengan peringatan resiko rokok di kemasannya.
Hal-hal
yang baik dari suatu budaya dapat kita ambil disesuaikan dengan adat istiadat
setempat, tetapi hal-hal yang tidak pantas dengan budaya kita seharusnya kita
tinggalkan saja.
Contoh
dari peristiwa ironis tersebut misalnya para terpidana kasus-kasus korupsi yang
saat diwawancara selalu tampil bahagia, tersenyum dan bangga dengan kondisinya.
Apalagi jika mereka dikawal sederet para pengacara hebat, maka rasa percaya
diri itu makin kuat terpancar dari raut wajahnya. Tidak tampak wajah sedih dan
menyesal. Kasus korupsi yang seharusnya memalukan di negeri-negeri lain (kadang
berakhir dengan bunuh diri), namun dapat menjadi suatu kebanggaan bagi beberapa
orang di negeri ini. Korupsi adalah merampok hak kesejahteraan dan hak
kepandaian rakyat banyak demi suatu ego yang rakus akan materi melalui
cara-cara tidak bermoral dan illegal.
Contoh
lain yang masih aktual adalah seorang selebriti yang saat diwawancara dalam
suatu acara infotainment televisi tampil dengan bahasa yang sok pandai mencomot kata-kata canggih sana-sini dan
asing di dalam kalimatnya. Ini adalah orang yang bangga dengan ketidak-tahuannya. Orang yang
ingin tampil seolah-olah dianggap pandai.
Penggunaan
kata-kata aneh itu tidak tepat secara struktur maupun secara tata bahasa,
bahkan tidak ada konteks terhadap substansi kalimat secara keseluruhan, maka
akhirnya kalimat itu menjadi kalimat super aneh. Istilah-istilah aneh seperti
‘labil ekonomi’, ‘konspirasi kemakmuran’, ‘twenty
nine my age’ patut dipertanyakan apa maksudnya supaya tidak merusak
semangat menjunjung tinggi bahasa persatuan kita di Sumpah Pemuda.. Akhirnya
semua ini tentu menjadi bahan olok-olok di masyarakat luas. Tragis.
Satu
contoh lagi, banyak para orang tua yang bangga manakala anak-anaknya yang masih
di bawah usia dewasa telah mampu mengendarai kendaraan bermotor, baik roda dua
maupun roda empat. Ditambah fakta bahwa membeli sepeda motor dan mobil semakin
mudah saat ini, karena banyaknya lembaga pembiayaan yang siap membantu dengan
uang muka yang sangat rendah sekali.
Apalagi
bila ada yang memuji si anak, maka rasa bangga itu akan makin berlipat-lipat
bagai suatu pembenaran atas percobaan itu. Namun apa yang akan terjadi manakala
si anak yang belum memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi) nekat membawa kendaraan
roda empatnya di jalan raya lalu menyebabkan kecelakaan fatal yang menimbulkan
beberapa korban tewas? Penyesalan? Atau masih ada rasa bangga itu?
Perasaan
yang timbul kemudian adalah rasa empati bagi semua pihak. Kita prihatin dan
menyesali insiden kecelakaan itu. Kita berharap agar kecelakaan-kecelakaan
seperti ini tidak terjadi lagi di masa depan. Semoga bagi semua korban
kecelakaan itu dapat segera pulih, sehingga mereka dapat beraktivitas kembali
seperti sebelumnya. Semoga putra-putri kita dapat tumbuh dewasa secara sehat
jasmani dan rohani sampai kelak mereka menjadi pribadi-pribadi dewasa yang
kritis dan mempunyai karakter yang bermoral baik.
Uang
Uang memang dapat merubah watak
dan karakter orang. Ada orang yang saat miskin, hidupnya susah dan rendah hati,
namun saat tiba-tiba menjadi kaya raya hidupnya berubah 180 derajat. Ada.
Makanya sering kita dengar istilah borjuis yang mengacu kepada makna orang kaya
baru. Orang yang baru kaya umumnya kaget dan tidak siap dengan kejutan budaya.
Sering kita mendengar juga istilah Jawa ‘kere
munggah bale’ yang maknanya mirip dengan orang miskin yang tiba-tiba kaya.
Contoh
sederhana dapat dilihat di jalan raya. Banyak orang mampu membeli mobil
baru yang mahal, namun sedikit dari
mereka yang mampu tampil dengan beradab saat mengendarai kendaraannya di jalan
raya. Banyak dari mereka yang mengendarai mobilnya dengan sembrono, sehingga
seringkali terjadi musibah tabrakan yang memakan korban jiwa. Bunyi klakson pun
saling beradu di setiap kemacetan seolah hanya dengan suara klakson itu dapat
menyelesaikan persoalan macet. Klakson juga seolah representasi para ego snob yang saling berteriak adu keras.
Dalam
posisi hidup sangat sederhana dimana segala kemungkinan hidup serba terbatas,
kemungkinan untuk ‘aneh-aneh’ nyaris sangat tipis. Jarang terdengar orang miskin
pesta narkoba di hotel berbintang. Atau orang miskin membeli mobil mahal untuk
anaknya. Persoalannya memang bukan disini. Persoalan itu mulai muncul manakala
banyak orang menjadi lebih kaya dan bingung dengan pola hidup barunya.
Kalau
orang sederhana selalu bertanya, “Apakah saya makan hari ini?” Maka orang kaya
punya pilihan pertanyaan lebih banyak, “Makan apa saya hari ini?” Sudah ada
pilihan menu makanan. Atau, “Makan dimana saya hari ini?” Pilihannya mulai
melebar ke restoran. Dan bisa juga, “Makan siapa saya hari ini?” Si A? Si B?
Atau si C?
Karena
uang bukan lagi masalah bagi orang kaya, maka segala permintaan dari setiap
anggota keluarga dapat terpenuhi. Maka tidaklah heran sekarang banyak anak
kecil sudah membawa beberapa telepon genggam android sekaligus. Harga gadget
baru yang mencapai sekitar Rp 7,5 juta per unit itu identik dengan uang makan
beberapa bulan bagi sebuah keluarga sederhana.
Karena
uang juga bukan masalah, maka di sekolah-sekolah seperti SMP dan SMA di halaman
parkir kendaraannya penuh dengan motor dan mobil. Para siswa yang belum
memiliki SIM itu membawa sendiri kendaraan untuk pulang pergi. Siapa yang
membelikan kendaraan itu? Orang tuanya.
SIM (Surat Ijin Mengemudi)
Setiap orang yang akan
mengendarai kendaraan di jalan raya wajib memiliki SIM terlebih dahulu. Untuk
sepeda motor roda dua wajib memiliki SIM C. Untuk mobil wajib memiliki SIM A
atau B sesuai spesifikasi kendaraan yang akan digunakan nanti. Ketentuan SIM (driving license) ini berlaku di semua
negara di dunia. Bahkan ada SIM International untuk ijin mengemudi kendaraan di
negara lain.
Umumnya
setiap ada razia atau pemeriksaan kendaraan di jalan raya oleh polisi, maka
dokumen yang diminta untuk diperlihatkan adalah SIM dan STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan). Para aparat hukum seperti militer pun juga tidak luput dari
pemeriksaan kendaraan dinas secara berkala yang dilakukan oleh polisi militer.
Artinya, secara regulasi semuanya sudah diatur dengan baik.
SIM
berlaku untuk masa 5 (lima) tahun. Bila telah jatuh tempo, maka si pemohon
harus memperpanjang SIM tersebut melalui beberapa syarat yang telah ditentukan.
Seseorang yang telah lulus dan memiliki SIM dapat saja dicabut kembali atau
dibatalkan kartu SIM-nya jika terdapat atau terjadi hal-hal yang dianggap fatal,
misalnya terjadi suatu pelanggaran fatal sehingga timbul kecelakaan yang
mengakibatkan jatuhnya korban tewas. Pencabutan SIM si pelaku itu dengan
pertimbangan agar tidak membahayakan pengguna jalan raya lainnya.
Untuk
memiliki SIM seseorang harus melalui berbagai ujian tertulis dan ujian praktek
di kantor pengurusan SIM dimana domisili hukumnya berada. Untuk membuat SIM,
seseorang harus memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) terlebih dahulu. Makanya
seseorang harus sudah dianggap dewasa dahulu, siap secara fisik dan mental,
maka yang bersangkutan dapat mengikuti proses pemilikan SIM.
Namun
itu juga bukan berarti bahwa setiap orang yang telah dewasa atau memiliki KTP
secara otomatis berhak untuk memiliki SIM. Ada beberapa pertimbangan tertentu
yang dapat menyebabkan orang dewasa gagal memiliki SIM, misalnya faktor
kompetensi mengemudi yang tidak baik atau misal lain bahwa yang bersangkutan
memiliki cacat fisik yang mengakibatkan tidak mampu mengendarai sepeda motor
atau mobil secara benar dan aman.
Jika
memaksakan memberi SIM kepada orang dengan kualifikasi demikian, maka hanya
akan menimbulkan resiko lebih parah terhadap keselamatan orang lain.
Keselamatan kita di jalan raya bergantung kepada faktor internal yang timbul
dari kesiapan kondisi kendaraan kita dan kondisi kemampuan fisik kita sendiri,
dan faktor eksternal yang timbul dari pengguna jalan raya lain.
Untuk
tidak menabrak pengguna jalan raya lainnya adalah masih mudah. Jalan hati-hati
senantiasa awas melihat depan-belakang-kiri-kanan, tidak melebihi batas
kecepatan dan selalu siaga menginjak pedal rem. Tetapi untuk menghindari
ditabrak oleh pengemudi lain dalam kondisi jalan raya saat ini yang jauh lebih
padat dan kompleks dibandingkan beberapa puluh tahun silam adalah suatu hal
yang muskil. Kecelakaan adalah kecelakaan, tanpa memandang menabrak atau
ditabrak, jika telah terjadi akibat kerusakannya tetap sama. Pusing.
Moral
Sebagai orang tua di jaman ‘edan’
seperti sekarang ini memang tidak mudah. Jika orang tua sendiri tidak tahu dan
tidak sadar, bagaimana mungkin mereka dapat memberi tahu dan menyadarkan
anak-anaknya? Tentu tidak mungkin. Tuntutan hidup yang makin tinggi, beban
hidup yang makin berat, dan kondisi
budaya yang cepat berubah telah membuat tugas setiap orang tua jauh tambah
sulit. Kadang orang tua berpikir dengan hanya menyekolahkan atau memberi materi
uang kepada anak, maka tugas dan fungsi orang tua telah selesai. Padahal jauh
dari itu. Makanya pihak sekolah seringkali mengundang para orang tua murid
untuk bertemu dan berdiskusi dalam metode pembinaan siswa.
Namun,
jika kita sebagai orang tua tahu dan sadar akan nilai-nilai itu, maka wajib
hukumnya untuk mendidik anak-anak dengan nilai moral yang benar. Ajarkan anak
pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mengutamakan pada perbuatan baik
daripada mendewakan materialisme semata. Bukan semata pada aspek salah atau
benar saja, tetapi juga pada aspek baik atau buruk dan pantas atau tidak
pantas.
Ada
sebuah kata bijaksana yang mungkin bernilai buat kita semua. Do not educate your children to be rich.
Educate them to be happy. So when they grow up, they’ll know the value of
things, not the price. Jangan ajari anakmu jadi kaya. Didiklah mereka agar
bahagia. Jadi saat mereka dewasa nanti, mereka akan tahu nilai setiap hal, bukan harga
dari setiap hal.
Kebanggaan
itu adalah jika anak-anak belajar dengan sungguh-sungguh, lulus dengan nilai
baik lalu mandiri tidak bergantung pada orang lain atau pada pemerintah sekali
pun. Atau bahkan si manusia dewasa itu nanti mampu berkarya secara positif bagi
orang-orang di sekitarnya, atau bahkan bagi nusa bangsanya, dan bagi dunia ini.
Berilah
contoh figur sukses seperti Steve Jobs dan Bill Gates yang mampu merubah
paradigma dan cara kerja dunia terhadap penggunaan teknologi saat ini. Mereka
kaya raya, namun mereka juga sekaligus sosial dengan rutin memberi sumbangan
finansiil setiap tahunnya kepada para penduduk di dunia ketiga. Steve Jobs (almarhum) dan Bill Gates tidak
perlu mengendarai sendiri mobilnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang
hebat dan pandai. Mereka bahkan dapat memperkerjakan banyak supir sekaligus
untuk memenuhi kebutuhan seluruh kantornya di seluruh dunia. Mereka dengan
kekayaannya mampu untuk membeli mobil mewah merek apa pun juga, atau bahkan
mampu untuk membeli pabriknya sekaligus.
Atau
figur seperti Bunda Teresa yang jauh dari kesan kaya, namun aksi-aksi
kemanusiaannya di India terhadap para orang papa dan tersingkirkan selalu
dikenang oleh banyak orang di seluruh dunia. Bahkan untuk tingkatan seperti
Bunda Teresa, setiap kebaikan itu tidak perlu diiringi oleh rasa bangga. Setiap
orang harus berbuat kebaikan kepada sesamanya karena alasan humanisme universal, dan tidaklah perlu
kita lantas menjadi bangga (atau kemudian sombong) atas kebaikan kita tersebut.
Masyarakat
era kini memang lebih mengutamakan tampilan fisik serba luar yang ‘waahhh’ daripada apa yang terpancar dari
dalam diri secara tulus dan jujur. Masyarakat yang ingin serba instant pada hasil hebat, dan selalu
malas pada proses panjang. Mari kita (coba) merenungkan kembali makna hidup
ini, apa tujuan hidup kita.
Hidup
haruslah memberi makna (yang positif) bagi sesama kita. Hidup bukanlah ajang
mencari rasa bangga dari orang lain, apalagi rasa bangga yang keliru.
Terima
kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar