Jangan Ada ‘Mempertakut’ di Antara Kita
Oleh : Ali Suyanto Herli
Orang Pandai
Di dunia ini, orang pandai ada dua
jenis. Pertama, mereka yang jika berbicara atau menyampaikan pendapatnya
selalu menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat asing yang canggih
dan susah dimengerti. Secara tata bahasa kalimatnya mungkin benar,
konteksnya nyambung dengan substansi kalimat secara
keseluruhan, namun bagi orang awam akan kesulitan untuk memahami
kalimat-kalimat seperti itu. Jenis kedua orang pandai itu adalah mereka
yang selalu menggunakan kata-kata dan bahasa yang sederhana, namun tanpa
mengurangi makna dari substansi kalimatnya. Dan umumnya bahasa jenis
kedua ini lebih mudah dipahami oleh orang awam.
Mengapa bisa terjadi tipe pertama dan tipe kedua seperti itu?
Setiap orang bisa menjadi pakar di tiap
atau beberapa disiplin ilmu sekaligus dengan melalui proses belajar dan
kerja-keras. Misalnya, pakar di bidang kedokteran, atau pakar di bidang
hukum, atau bidang ekonomi, atau pun di bidang politik. Atau bidang lain
lagi. Namun kompetensi pada disiplin ilmu tersebut belum tentu
diimbangi dengan kemampuan berbahasa yang baik dan benar juga. Hanya
orang yang mempunyai cara berpikir yang logis, sederhana dan nalar lah
yang mampu menyusun bahasa secara runtut dan nyaman dicerna dengan akal
sehat.
Untuk menyampaikan suatu pendapat atas
suatu hal yang kompleks misalnya, sebenarnya diperlukan satu tahapan
lagi, yaitu mengemasnya dalam kalimat dan bahasa yang mudah dan enak
dicerna. Tetapi tidak semua orang sanggup melakukan tahapan ini. Umumnya
karena faktor kesibukan si pembicara, atau tidak ada kompetensi di
bidang linguistik, mereka mengabaikan tahapan ini.
Bung Karno sebagai salah satu contoh
bagaimana seorang yang pandai mampu menyampaikan isi pikirannya dengan
bahasa yang sangat mudah dipahami dan dengan gaya penyampaian yang tetap
menarik. Tidaklah heran jika Bung Karno berpidato (tanpa teks), maka
para pendengar atau penonton tanpa disadari telah ‘terbius’ berjam-jam
lamanya.
Namun sebaliknya, sering kali pula kita
saksikan di televisi para politikus yang menyampaikan pendapatnya secara
berputar-putar tidak jelas dan tidak tegas maknanya. Mengambang.
Sebenarnya maksud isi pikiran si politikus bagus, tapi karena tata
bahasanya kacau, maka kesan yang timbul jadi bias.
Semua itu adalah pembahasan mengenai orang pandai.
Orang Yang Berpura-pura Pandai
Lalu diluar pembahasan di atas, ada pula
tipe orang yang sebenarnya tidak pandai namun berusaha agar terlihat
oleh orang lain seolah-olah dia pandai (sekali). Bagaimana caranya? Ada
banyak hal yang dapat ditempuh agar seolah menjadi ‘intelektual’.
Menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat canggih dan asing di dalam
tata bahasa kalimat adalah salah satu contoh.
Namun karena pada dasarnya mereka tidak
memahami ilmu struktur dan tata bahasa yang baik dan benar, maka aksi
comot sana-comot sini istilah-istilah asing itu (ditambah tempelan
beberapa kata bahasa asing seperti bahasa Inggris misalnya, dan
celakanya ternyata juga masih salah secara struktur dan grammar) malah membuat kalimatnya menjadi aneh. Tumpukan kata-kata aneh itu tidak nyambung secara keseluruhan.
Contoh kalimat itu adalah pidato
kampanye seorang calon kepala desa sebagai berikut, “My name is ….. I am
from the birthday in Karang Asih City. I have to my mind. I have to my
said. I’m get to the good everything …… to my place. America, Europe and
everything japanese and Asia…” Atau contoh subyek yang sama namun dalam acara yang berbeda di televisi beberapa hari lalu, “Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.”
Lalu, “Kita belajar, apa ya, harmonisasi
dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego
terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan.
Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram
statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident.”
“Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga…”
Paham? Jangankan kita sebagai pendengarnya yang tidak paham akan maksud kalimat-kalimat mentereng
itu, si pembicara itu pun secara jujur juga bingung dengan makna
kalimatnya sendiri. Susunan subyek, predikat dan obyeknya saling tumpang
tindih tidak jelas. Ditambah lagi dengan bentukan kata benda, kata
ganti, kata kerja dan kata sifat yang saling berebutan ingin tampil
keluar di kalimat, maka kita seperti melihat suatu lukisan post-mo
abstrak yang indah dengan kata-kata asing namun miskin ide dan makna.
Suatu komunikasi yang tanpa makna tidak lebih daripada suatu igauan kosong.
Bahasa yang Baik dan Benar
Dalam suatu kalimat umumnya ada subyek,
predikat, dan obyek agar jelas maksud tujuan kalimatnya. Misalnya
kalimat berikut ini, ‘Saya memberi dia sebuah hadiah ulang tahun’. Saya sebagai subyek, memberi sebagai predikat, dia sebagai obyek, dan sebuah hadiah ulang tahun sebagai kata keterangan.
Secara struktur kata, kita mengenal kata
benda, kata kerja, kata keterangan, kata sifat, kata ganti, kata
bilangan dan kata tugas. Masing-masing jenis kata harus digunakan dalam
fungsi dan konteks yang tepat. Jika kacau balau susunannya, maka
maknanya pun akan kacau balau juga.
Tiap kata selalu berasal dari suatu kata
dasar. Kata dasar dapat berubah makna setelah mendapatkan tambahan
awalan, atau sisipan, atau akhiran (imbuhan). Misalnya, kata dasar
‘lari’ adalah kata kerja, namun setelah mendapat imbuhan ‘pe-an’
sehingga bentuknya menjadi ‘pelarian’, maka maknanya bergeser menjadi
kata benda, yaitu orang yang berlari. Penggunaan imbuhan yang kacau dan
aneh hanya akan membingungkan pihak yang diajak berbicara.
Misalnya di kata ‘mempertakut’ yang kata
dasarnya adalah ‘takut’ yang merupakan kata sifat. Jika kata sifat itu
mau diubah menjadi kata benda, maka bentuk barunya menjadi ‘menakutkan’,
namun jika yang dimaksud si pembicara adalah kata kerja maka seharusnya
menjadi ‘menakuti’ atau ‘menakutkan’. Awalan ‘memper-’ itu umumnya
mempunyai makna ‘membuat sesuatu agar lebih’. Kata ‘memperpanjang’
mempunyai makna membuat suatu masalah / hal menjadi lebih panjang lagi.
Apakah ‘mempertakut’ bermakna ‘membuat sesuatu agar menjadi lebih
menakutkan lagi’? Entah lah. Tetapi yang jelas bentuk kata
‘mempertakut’ adalah tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia.
Sama dengan tidak lazimnya kalimat ‘ twenty nine my age ‘.
Mengapa tidak menyampaikan ‘Usia saya dua puluh sembilan tahun’ saja?
Di dalam struktur bahasa Inggris juga tidak lazim kalimat itu, umumnya
cukup dengan frasa ‘twenty nine years old‘.
Keep It Simple, Stupid (KISS)
Ada suatu kata bijaksana untuk
menyampaikan opini yang tetap relevan hingga saat ini, yaitu ‘Keep It
Simple, Stupid!’ (KISS). Buatlah agar tetap sederhana! Bahasa yang
sederhana adalah bahasa yang menggunakan kata-kata sederhana, dan
umumnya kalimatnya juga singkat. Singkat, tetapi tetap bermakna. Tidak
panjang bertele-tele melelahkan. Cobalah lihat novel-novel karya
Arswendo Atmowiloto, misalnya novel ‘Dua Ibu’ atau novel ‘Canting’,
kalimat-kalimatnya selalu sederhana dan pendek. Mudah sekali diikuti dan
nikmat.
Menggunakan kata-kata bahasa asing di
dalam beropini dengan kalimat berbahasa Indonesia (untuk pemirsa di
Indonesia juga) sedapat mungkin dihindari. Kecuali padanan kata tersebut
memang belum ada di perbendaharaan (vocabulary) kata bahasa Indonesia, atau demi menghindari bergesernya makna (lost in translation, maknanya hilang karena proses penterjemahan) yang ingin disampaikan si subyek pembicara karena penggantian kata tersebut.
Menggunakan banyak kata bahasa asing
dalam suatu kalimat Indonesia hanya agar tampak seolah pandai, lebih
mencerminkan bahwa si pembicara tidak percaya diri. Masalah mental.
Kepandaian itu akan terpancar dengan sendirinya, diakui oleh orang lain
secara spontan, tanpa harus dipandu atau digiring ke kesan tersebut.
Kita akan dinilai oleh orang lain tidak
cuma dari apa yang terlihat dari luarnya saja, tetapi juga dari apa yang
muncul dari dalam diri kita. Dari apa yang telah kita ucapkan dan
lakukan secara jujur dari waktu ke waktu.
Lagi pula, apa untungnya kesan ‘pandai’ jika tidak memberikan arti atau bermanfaat bagi sesamanya? Dan tentu bagi bangsanya.
Panggung Olok-Olok
Media massa selalu punya kepentingan,
dan celakanya faktor uang tetap dominan disana. Media pers akan selalu
memberi panggung kepada orang-orang bodoh supaya terkenal, sambil
mengolok-olok mereka, agar laris rating acaranya. Itu artinya pemasukan
iklan lebih banyak. Uang lebih banyak.
Orang yang diolok-olok juga senang
karena akan makin terkenal. Itu bisa berarti uang juga jika mereka
dikontrak untuk menjadi bintang suatu iklan, atau misalnya kalimat
’saktinya’ dikontrak untuk dijual sebagai RBT (Ring Back Tone
atau nada sambung, adalah suara yang diperdengarkan di jalur telepon
oleh pihak penelepon setelah selesai melakukan pemanggilan dan sebelum
panggilan dijawab oleh pihak yang dihubungi) telepon genggam. Dan atau
lainnya lagi.
Setiap pihak tampaknya senang dengan hal
itu. Banyak yang terhibur, apalagi dalam kondisi kehidupan rakyat
banyak yang makin sulit dimana harga bahan pangan makin tinggi, harga
tempe dan tahu makin mahal, angka pengangguran tinggi, dan suramnya
berita-berita penegakan hukum di Indonesia, maka tertawa lepas adalah suatu barang mewah yang semakin sulit didapat di negeri ini (karena terlalu banyak hal-hal yang harus ditertawakan secara ironis).
Namun hiburan tetaplah sebagai hiburan.
Sebentar lagi kita akan merayakan hari Sumpah Pemuda, kita harus
menjunjung tinggi bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Kita harus
paham aturan mainnya dalam berbahasa yang benar dan baik. Nelson Mandela
pernah berkata ❝If you talk to a
man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to
him in his own language, that goes to his heart.❞
Jadi marilah kita (tetap) menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan gunakan lagi kata
‘mempertakut’ tidak pada tenpatnya. Jangan ada ‘mempertakut’ di antara
kita (karena tidak akan ada kudeta di konspirasi kemakmuran dan labil ekonomi).
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar